FORUM INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Minggu, 18 Juli 2010

MG: Miasthenia Gravis

Oleh: Sarah Meiryzka Gunawan *

Tidak ada prestasi yang patut aku banggakan bagi sekolahku ini, namun aku hanya mencoba berbagi cerita tentang pengalamanku. Semoga menjadi kenang-kenangan yang tak terlupakan di sekolah ini.


Ketika aku masih duduk di kelas IV, aku sedih saat itu tidak terpilih ikut lomba mapel di Jakarta….tiba-tiba lidahku kelu’…. Aku kesulitan berbicara, yang tidak dapat mengucapkan huruf ‘R’ atau ‘S’ dengan jelas. Tidak hanya kesulitan bicara, aku juga kesulitan untuk mengunyah makanan, bahkan minum pun tersedak.


Mama-Papaku panik segera membawaku ke dokter spesialis anak (dokter yang merawatku sejak bayi). Namanya dr. Rudy Susanto. Diagnosis Beliau aku terkena radang. Setelah 4 hari obat dari Beliau habis, aku masih tetap kesulitan mengunyah dan berbicara.


Dr. Rudy menyarankan untuk konsultasi ke dokter spesialis THT. Aku diperiksa oleh dr. Retno. Diagnosisnya amandelku besar. Aku diharuskan untuk operasi amandel. Operasi dilakukan oleh dr. Amriyatun, operasi pengangkatan amandel berhasil dengan baik. Ya Allah, setelah beberapa minggu operasi, aku tetap tidak bisa mengunyah makanan dan bicaraku pun tetap cadel. Tanpa putus asa, mama membawaku ke dokter THT yang ahli pita suara dan ahli alergi. Beliau berdua tidak menemukan yang aneh pada tenggorokan dan pita suaraku.


Kedua orangtuaku bingung apa lagi yang harus dilakukan. Saking bingungnya, Papa menyetir mobil berputar-putar Simpang Lima hingga 5x…mungkin kalo aku ingat itu, aku tertawa….tapi mamaku saat itu menangis. Atas saran dr. Rudy, aku disarankan untuk diperiksa ke dokter ahli syaraf. Dokter Wirawan mendiagnosis, syaraf lidahku nomor 9 dan 10 lemah (ternyata lidah juga ada nomernya ya ..he..he..he). Aku diberi obat dan meminumnya setiap hari.


Alhamdulillah, aku sudah mulai bisa ngunyah dan bicara seperti dulu lagi. Tanpa terasa, setahun aku sudah mengkonsumsi obat itu, aku memang terbantu, tapi aku kadang-kadang jenuh. Memang aku lebih sehat dan gemuk (dipipi), tapi kata Pak Benny aku terlihat lemas.

Mamaku mendapat rujukan lagi dari tante Lily (sudah seperti saudara). Tante Lily adalah mamanya Andhika (temanku). Papanya Andhika adalah dokter ahli bedah syaraf. Namun, kata Tante Lily, mamaku harus cari second opinio ke dokter syaraf lainnya. Lalu mamaku membawaku ke dr. Endang Kustiowati.

Diagnosis dokter, jika melihat gejalanya, aku terkena MG (Miasthenia Gravis), salah satu penyakit auto imun, di mana tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.

Kemudian aku dirawat sehari untuk pemeriksaan MSCT (Multi Slices CT-Scan), yaitu untuk melihat kelenjar thymus-ku yang menghasilkan imun pembengkakan atau tidak. Alhamdulillah, tidak bengkak, kalau bengkak sangat berbahaya.

Mama-Papaku masih bingung dengan penyakit yang menyerangku. MSCT tidak menandakan yang serius terhadap penyakitku. Aku dinyatakan sehat, namun aku tidak pernah minum obat lagi karena aku capek selama hampir setahun selalu minum obat terus.

Suatu hari, di sekolah sebelum jam istirahat, aku mengalami sesak napas. Istirahat di UKS sesak napasku membaik. Aku memberitahu Mamaku kalo aku tadi sesak napas. Sore hari menjelang maghrib aku kesulitan bernafas lagi. Aku menangis. Mama panik, aku mulai enggak kuat dan tidak ingat apa-apa lagi. Menurut cerita Mama, aku nggak sadarkan diri, air liurku mengalir deras. Dibantu oleh Pak As (pemilik catering sekolah yang juga sudah seperti saudara) Mama membawaku ke dokter. Saat itu Papa sedang tugas di Madiun.

Menurut cerita Mama dan adikku, saat di jalan aku sudah tidak sadarkan diri. Mereka menangis. Malah adikku bilang. “Teteh jangan mati …..”,Teteh itu artinya kakak (Sunda).

Mama membawaku ke dr. Rudy dulu. Pak As membopongku masuk ke ruang praktek dokter. Mama mendobrak pintu tanpa melihat masih ada pasien. dr. Rudy kaget melihat kondisiku begitu Pak As meletakkanku di tempat tidur periksanya

Mamaku pun shock, karena katanya tubuhku sudah membiru!. dr. Rudy nggak bisa bantu, aku dibawa ke UGD RS Tlogorejo yang dekat dengan tempat prakteknya….menurut Mama, Beliau membopongku dengan susah payah masuk UGD sambil berteriak minta tolong. Kata Mama, ia hanya menangis, lemas, jatuh terduduk memohon kepada Allah untuk menolongku…

Jantungku sudah lemah saat itu, dokter berupaya dengan keras. Mama ditanya mengenai riwayat penyakitku, apa ada asma / jantung. Tapi menurut Mama, nggak ada. Satu jam pertama, aku masih lemah. Doa Mama yang tadinya penuh pengharapan agar aku dapat pulih mulai berganti. Menurut Mama, saat itu Beliau lirih berdoa, “Ya Allah hamba hanya dititipkan anak ini oleh-Mu. Engkau Maha Tahu. Jika menurut-Mu anak ini harus Engkau ambil, ambillah, hamba ikhlas, tapi jangan siksa kami seperti ini ….”.

Saat itu, percaya nggak percaya, papa yang sedang dalam perjalanan pulang menelepon mamaku, bertanya mengenai keadaanku. Mama hanya menangis dan menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Tapi Papa berteriak merasa mendengar suaraku berteriak. Mama mengatakan nggak mungkin karena aku tidak sadar. Tapi, menurut Mama, Pak As mengatakan, “Sarah sadar, Bu. Sudah sadar!” Mama melihatku, waktu itu aku masih belum ingat apa-apa, tapi menurut Mama, Mama memeluk dan mengusap rambutku sambil berkata, “Teteh, ini Mama, Tetah masih ingat kan?” aku mengangguk dan menitikkan air mata.

Aku sadar lagi, jantungku berdetak normal. Sujud syukur dipanjatkan juga oleh orang-orang lain yang sama-sama menunggu di UGD karena begitu heboh melihat kondisiku. Aku kemudian dirawat di ruang ICU anak, yakni PICU.

Sungguh, aku sendiri seperti tidak merasakan apa-apa, aku hanya tidur. Di hari kedua aku sempat bangun, senyum tapi tidak bisa berkata apa-apa karena di mulutku ada selang ventilator. Tapi Mama bilang, Beliau sempat mengajakku ngobrol dan bercanda. Tapi sungguh, aku tidak ingat apa-apa.

Di malam ke-2, tidurku gelisah. Di hari ke-3 aku kritis. Tubuhku saat itu menggelumbung seperti balon. Semua alat untuk bernafas dengan mesin dicabut. Waktu itu Mama-Papa dipanggil dokter anak PICU (dr. Tatty). Beliau bilang sudah berusaha semaksimal mungkin, tinggal menunggu saja waktu yang terbaik dari Allah. Tentu saja Mama panik, Mama baca Surah Yasin ayat demi ayat di telingaku. Papa menelepon sekolah untuk memohon doa bagiku, yang terbaik.

Papa membisikkan kalimat syahadat di telingaku. Mama mengambil wudhu, melakukan sholat taubah dan hajat. Entah berapa rakaat sampai bajunya basah oleh keringat. Kata Mama, Beliau tidak mampu memohon apapun, hanya berharap diberi kekuatan lebih dalam situasi ini. Lalu Papa menepuk bahu Mama yang sedang membaca surah yasin. Papa bilang, “Sarah sadar lagi ….”, kata Mama, Beliau tidak mampu membendung air matanya. Setelah menuntaskan membaca surah Yasin, Mama menghampiriku. Aku memang sadar walau tubuhku masih seperti balon.

Dokter kembali sibuk untuk memeriksaku. Ventilator di pasang lagi untuk membantuku bernafas. Tapi aku benar-benar tidak ingat apapun.

Ternyata penyakit MG-ku yang menyebabkan seluruh saraf penafasanku mati semua. Tubuhku seperti balon, karena paru-paruku bocor, oleh Dr. Sahal yang membedahnya dan Dr. Basuki yang membiusku (eh, ternyata Dr. Basuki itu Papanya Sasa 6B temanku lho), dan yang memeriksa paru-paruku ternyata Beliau juga Papanya Dini 6B (Temanku), yaitu Dr. Dwi Bambang.

Aku mulai berangsur pulih. 24 hari aku di ICU, berlatih bernapas tanpa bantuan ventilator, pada akhirnya bisa benapas sendiri tanpa bantuan alat itu, hingga akhirnya aku bisa pulang ke rumah dan dapat bersekolah lagi.

Kata orang-orang ini musibah, ada juga yang bilang ini adzab untuk Mama dan Papaku. Tapi kata Mama, kita nggak boleh Su’udzon sama Allah, apapun itu. Kalau kita nggak pernah ngalamin ini, kita nggak akan pandai dalam mengambil hikmah dari setiap kejadian: bahwa kekuatan doa membuat aku tetap bertahanm kepasrahan dan baik sangka kepada Allah yang telah menyebabkan banyak kemudahan. Tanpa kesulitan ini, kita mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan baru.

Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak-Ibu guru, teman-teman semua (adik dan kakak kelas dulu) yang telah membantu aku dengan doa. Juga kepada teman Mamaku yang dengan ikhlas membantu dan mudah-mudahan semua adalah hamba yang dipilih Allah untuk ditakdirkan pandai membantu dan tanpa berharap imbal jasa, bukan seperti manusia kebanyakan yang bilang membantu itu ada batasnya………….

Tiada yang dapat aku berikan selain doa: “Berikan kesabaran dan keikhlasan pada diri mereka yang telah membantuku. Ya Allah bukakan pintu rejeki yang lebih baik dan lebih banyak dari yang telah aku terima. Ampuni aku dan ampuni mereka”…….

Aku memang sakit, tapi aku akan fight terus sampai tercapai cita-citaku menjadi dokter dan berupaya mengobati dan menyembuhkan orang-orang yang menderita penyakit sepertiku, yaitu dengan pertolongan-Nya.

Darimana datangnya penyakit ini, yang pasti dari Allah…..karena Allah berkehendak demikian. Tapi aku tetap mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadaku, apapun bentuknya.

Buat Mama dan Papaku, aku tahu bagaimana kalian dengan susah payah menemaniku dalam derai air mata, lelah yang teramat sangat, terkadang ada cibiran, hinaan ataupun makian yang didapat, tapi kalian selalu kuat bertahan, walau aku tahu kalian telah lelah lahir dan batin. Mudah-mudahan Allah swt. mengampuni segala dosa-dosanya dan memanjangkan umur mereka, hingga aku mampu membalasnya….Aamiin. (*Alumnus SDIA 14 Semarang Angkatan IX Thn Pelajaran 2009 - 2010)

Genade Selatan 11

Suatu hari yang merupakan hari-hari baruku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar